Ayah dan Ibu di Mataku

Posted by Unknown Minggu, 21 Juli 2013 1 komentar

Lebih Dekat dengan Amatrachman Sastroatmodjo dan Sumami Sastroatmodjo

Diceritakan Oleh : Bpk. Drajat Suratman ( Anak ke-5 dari Sastroatmodjo )

Umur berapakah seorang anak dapat merekam suatu peristiwa, hingga masih dapat dikenang dimasa tuanya? Yah...  kira-kira umur empat tahun. Itulah yang saya alami, walapun tidak terekam seluruhnya.

Suatu hari, waktu menjelang pagi saya dan adik kembarku di bangunkan ibu, dengan mata masih berat kubuka, kami didudukkan di tepi ranjang, disampingku ibu berdiri menggendong adiku yang masih bayi, di depan kami moncong senjata yang siap diledakkan oleh be-berapa tentara Belanda. Sementara yang lainnya hendak mengobrak-abrik rumah kami, karena mengira tempat kami sarang Tentara Republik Indonesia. 

Namun ketika melihat kami, anak yang lucu-lucu, mereka mengurung kan niatnya. Mereka mengajukan bebeperapa pertanyaan dengan bahasa Belanda kepada ayah. Kemudian mereka meninggalkan rumah kami. Alih-alih menggeledah rumah, bahkan sewaktu meniggalkan kami, beberapa tentara itu mengelus-elus kepala kami lalu mereka memberi sarden kornet roti dalam kalengan, dari ranselnya, mungkin mereka teringat dengan keluarga yang di-tinggalkan nun jauh di Nederlan sana. Itulah kercedikan ibuku.

Empat tahun kemudian, ketika ingatanku semakin menguat, sebuah peristiwa yang sama terulang kembali, namun kini yang mengepung rumah kami menjelang pagi itu gerombolan yang menamakan diri DI/TII (Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia). Gerombolan ini lebih ganas dari tentara-tentara Belanda. 

Ibuku memasang strategi yang sama dengan dulu namun kini harus ditambah suatu trik lagi. Pada waktu itu uang logam 50 sen dengan gambar Pangeran Diponegoro baru beredar. Koin itu ketika baru, berkilau bagaikan emas. Ketika Gerombolan tadi mau menggasak seluruh isi rumah, mereka terpukau melihat anak-anak yang lucu. Kesempatan ini digunakan ibu membuka peti yang berisi koin baru. Ditimpa sinar temaram lampu teplok, kotak itu bak berisi kepingan emas.Gerombolan tadi dengan bergegas meraup seluruh isi kotak dan langsung hengkang.

Setelah itu saya baru mengerti bahwa rumah saya adalah sebuah Poliklinik, kalau sekarang bernama Puskesmas. Ayahku bernama Amatrachman bin Amat Syarif, setelah kawin dengan ibuku Sumami binti Sastro Taruno, seperti lazimnya orang Jawa bila sudah menikah diberi nama tua, dan ayahku menyandang nama Sastro Atmojo dibelakang nama kecilnya. 

Ayahku seorang Mantri Kesehatan yang bertugas melayani masyarakat, dengan memungut biaya murah terjangkau yang telah ditentukan oleh Pemerintah. Ayahku juga melaksanakan pekerjaan bidan yang membantu persalinan, termasuk melahirkan anak anaknya sendiri. 

Dari anak-anaknya yang dilahirkan, Siti Partinah, sikembar Drajat Suratman dan Pangkat Suracman, dan Siti Ningsih. Kadang subuhpun sudah dibangunkan orang yang minta tolong karena istrinya mau melahirkan. Dengan sabar ayah mengikuti orang itu dengan berjalan kaki sampai rumahnya. Berbeda dengan Puskesmas sekarang, buka seperti jam kantor, siang pun sudah tutup. Sore hari Mantri kesehatan buka praktek pribadi. 

Ayahku membuka pelayanan 24 jam, tak pernah membuka praktek sendiri. Bila anak-anak sakit, kamipun disamakan dengan pasien umum, artinya tidak gratis. Mungkin teman- teman, bahkan sebagaian saudara juga mengatakan suatu ketololan. Yah kejujuran dianggap suatu kebodohan. 

Ibuku juga bingung meng-hadapi cara berpikir ayah. Seorang pegawai negri hanya mengandalkan dari gaji, mana mungkin cukup. Kalau keluarga kecil bisalah. Namun  keluarga saya, anak tujuh ditambah beberapa anak angkat dan pembantu. Ibuku selalu memutar otak untuk menyambung gaji yang hanya cukup setengah bulan. 

Sewaktu kami di desa Lebeng Kec. Kesugihan Kab. Cilacap, ibu masih bisa memelihara kambing, ayam, entog (itik), angsa, dan kolam ikan. Sedikit kebun disamping rumah ditanami sayur. Bila panen tiba ibu dapat pula ikut memanen padi di sawah pak Mantri Guru.Sewaktu kami pindah ke kota Solo, ibuku sempat bingung untuk menambah penghasilan suami harus melakukan pekerjaan apa. Untuk beternak dan menanam sayur tak mungkin. 

Akhirnya ibuku memutuskan untuk kursus membordir, kemudian ibuku bekerja sebagai tukang bordir di toko cina yang masih ada hubungan keluarga di Pasar Legi. Untuk menghemat trans-portasi waktu berangkat ibu sering membonceng ayah yang mau masuk kerja. Tetapi terlalu pagi sehingga ibu harus menunggu toko buka. 

Kemudian ibu memilih jalan kaki sepanjang 6 km supaya pas sampai di toko sudah buka. Lama-lama tante Giok, yang punya toko, menyarankan ibu bekerja dirumah saja, artinya menerima order dari toko. Saya sering mengambil baju-baju yang akan dibordir dan mengantarkanya sesudah selesai. 

Kalau tidak ada jahitan ibu membatik, saya sering membantu menggambarkan motif, dan bila selesai saya antar ke pencelupan pewarna. Untuk membatik itu diperlu-kan waktu lama, berkali kali dicelup warna, dibatik lagi, kmudian digemblong atau ditumbuk biar warna-nya pecah-pecah, prosesnya bisa dua sampai tiga bulan, jadi membatik tidak dapat diandalkan unutuk mencari nafkah.

Saya bangga ibuku mau melakukan pekerjaan apa saja guna menegakkan perekonomian keluarga, hingga dapat menyekolahkan putra putranya. Ibuku selalu bilang pendidikan nomor satu. Mengapa? Karena ibuku merasa korban dari sistim kuno, sebagai perempuan tak mendapat pendidikan yang tinggi. Ibuku hanya sekolah dasar dan lulusan CPU (Corps Pendidikan Umum) kalau sekarang paket B, setingkat SMP. Tetapi walaupun pendidikannya rendah, tidak terus rendah diri.

Keinginannya untuk maju juga terlihat ikut berorganisasi. Kemudian bergabunglah dengan GOWS (Gerakan Organisasi Wanita Surakarta). Tapi tak pernah ambisi menjadi ketua, cukuplah menjadi anggota, karena tujuannya hanya menambah pengetahuan. Tak ketinggalan kursus bahasa Inggris, walaupun banyak yang mencemooh. Tapi ternyata berguna di hari tua-nya, karena Ayah dan Ibuku melanglang buana mengikuti anak-anaknya. 

Pepatah mengatakan berakit rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian, itulah yang kami (anak cucu dan keturunannya) teladani. 

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Ayah dan Ibu di Mataku
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://sastroatmojo.blogspot.com/2013/07/ayah-dan-ibu-di-mataku.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.

1 komentar:

quentonuebel mengatakan...

Casino in Santa Barbara, CA | MapYRO
Casino in Santa Barbara, CA 토토 분석 사이트 | MapYRO Real 강원도 출장마사지 Estate 거제 출장안마 Directory Search. Search for real 의정부 출장마사지 estate near Santa Barbara in Santa 당진 출장안마 Barbara, California.

Posting Komentar

Sewa Mobil dan Motor Jogja support Hotel Murah di Jogja - Original design by Bamz | Copyright of Trah Sastroatmodjo.